Tertulis / terdengar cerita daerah yang
subur, tumbuhan yang menghijau... diatas tanah yang datar di tumbuhi pohon dan
semak yang masih lebat dan terletak di antara dua Desa ( Negeri ) penduduk asli
pulau Seram yaitu Waisamu dan Hatusua. Pada tahun 1973 ditempat inilah
didatangkan oleh pemerintah Republik Indonesia, sekelommpok masyarakat dari
Jawa Tengah yang diambil dari 7 ( Tujuh ) Kabupaten diantaranya :
1.
Kabupaten
Blora
2.
Kabupaten
Wonogiri
3.
Kabupaten
Wonosobo
4.
Kabupaten
Kebumen’
5.
Kabupaten
Pati
6.
Kabupaten
Banyumas
7.
Kabupaten
Grobokan
Yang kemudian disebut sebagai masyarkat
Transmigrasi. Sehubungan dengan tempat tinggal dan lahan pertaniannya belum
siap maka masyarakat transmigrasi tersebut harus tinggal atau mondok pada
saudara – saudaranya yang juga masyarakat transmigrasi di Desa Waimital yang
sekarang ini lebih dikenal dengan Desa Gerakan Masyarakat Baru ( GEMBA ),
kurang lebih satu tahun tinggal di Desa
Gemba masyarakat tersebut kemudian pindah, walaupun tempat tinggal dan lahan
yang di janjikan belum siap. Merasa mereka harus hidup mandiri tanpa membebani
orang lain, masyarakat ini mulai mambangun dan berbenah diri menata kehidupan
yang lebih baik.
Konon karena letaknya diantara dua Desa
yaitu Desa Waisamu dan Hatusua maka Nama Depan dari dua Desa tersebut di gabung
sehingga sampai saat ini nama desa ini
adalah Desa” WAIHATU “ yang memiliku arti Wai yaitu” Air “ dan Hatu adalah
“Batu “.
Desa Waihatu, lama – kelamaan manjadi
ramai dan mapan dengan tanah yang subur hasil pertaniannya melimpah dan di pasarkan
ke kota provinsi yaitu Ambon dengan
menggunakan transportasi laut pada saat itu perahu dan spit boat.
Dengan lancarnya rutinitas perdagangan hasil pertainian melalui
jalur laut maka di bangun sebuah pelabuhan kecil untuk berlabuh motor- motor
laut tersebut.
Seiring dengan berjalannya Waktu Desa
Waihatu mengalami satu kejadian dimana seorang ibu kesurupan, konon yang
merasuki tubuh ibu tersebut adalah roh yang menjaga Desa Waihatu yang bernama
Mbah “ PURWOBONGGO “ ). roh tersebut meminta agar masyarakat Desa Waihatu
setiap tahun berjalan,tepatnya pada
bulan apit ( jawa ) atau Zulkoidah ( arab ) pada hari jumat Kliwon untuk menyediakan
sesaji yang terdiri dari Kepala Kambing Kendit ( Bahasa Jawa ) yaitu kambing
laki – laki yang warnanya hitam pada perutnya dikingkari warna putih, ayam
jago, dan masyarkat seluruh desa berkumpul jadi satu dengan membawa nasi yang
di bungkus dengan daun pisang, masyarakat menyebutnya “ TAKIR “ dan pada malam
resepsinya digelar pagelaran wayang orang ( janger ) .
Sehubungan kejadian itu baru terjadi di
Desa ini maka keserupan itu dianggap biasa oleh para sesepuh atau para pejabat
desa, namun selang waktu satu ( 1 ) bulan kemudian kejadian tersebut berulang
kembali. Oleh karena hal tersebut maka hingga sampai sekarang desa Waiahatu
setiap tahunya pada bulan Apit tepatnya hari Jumat Kliwon mengadakan acara yang
sekarang dikenal dengan Slamatan (
Syukuran ) Desa.
Tradisi yang dilaksanakan pada setiap
tahun ini di gunakan masyarakat sebagai sarana berkumpul dan bersilaturahmi
serta berbagai diantara masyarakat, tanpa memandang suku, ras, dan agama.
Dengan kerukunan masyarakat maka pembangunan di Desa Waihatu semakin hari
semakin maju.